Sabtu, 18 Februari 2012 By: Unknown

Maraknya Penyimpangan Sosial

 
Oleh: Hendrizal SIP

Akhir-akhir ini kita sering dicekam situasi sosial yang buruk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ini terlihat dari makin maraknya tindak kejahatan, kekerasan sosial, amuk massa, main hakim sendiri, dan berbagai penyimpangan sosial yang tumbuh secara bervariasi.
Yang mengerikan lagi, makin banyaknya pengidap penya-kit AIDS di negeri ini. Bahkan, sebuah LSM Peduli AIDS di Serang (Banten) mengungkapkan, Indonesia bersama China dan India termasuk negara berpenduduk besar yang menyimpan bom AIDS, karena terjadi pertumbuhan jumlah penderita AIDS luar biasa, yang diperkira-kan sudah berjumlah 80.000 sampai 100.000 kasus. Percepatan yang seperti deret ukur ini karena akumulasi banyak faktor seperti kasus narkoba meningkat 10 kali lipat.
Yang juga makin memprihatinkan ialah kian mekarnya perilaku menyimpang di kalangan anak-anak dan remaja negeri ini. Di kalangan remaja, misalnya, fenomena hubungan seksual pranikah, yang bisa meniadakan lembaga perkawinan yang luhur, sudah kian pesat perkembangannya belakangan ini, yang dampaknya amat jauh dalam kehidupan sosial masyarakat.
Yang lebih memprihatinkan ialah lahirnya pandangan bahwa hubungan tanpa nikah bisa dianggap wajar bila dilakukan secara suka sama suka, dan itu juga dianggap bukan pelanggaran apalagi sebagai perzinahan. Bahkan dalam hal perkosaan pun, si pemerkosa bisa lepas dari jeratan hukum, jika ia dapat berdalih dalam pembelaannya dengan mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka.
Fenomena lain yang memprihatinkan ialah maraknya tindakan pembunuhan yang melibatkan pelaku dan korban remaja serta anak-anak. Anak-anak belasan tahun dan masih bersekolah, seperti kerap diberitakan media massa, juga banyak terlibat dalam kasus perko-saan. Itu bahkan seolah-olah telah menjadi peristiwa sehari-hari yang lazim dan sudah menjadi pola kehidupan masyarakat kita.
Berbagai kasus tindakan penyimpangan norma dan kriminalitas di atas, tentu saja berkembang dalam situasi yang tidak vakum, banyak faktor yang mempengaruhinya. Tapi apapun penyebab-nya dan seberapapun tingkat kejadian dan pelaku maupun korbannya, hasil akhirnya tetap mengindikasikan hal sama, yakni tergang-gunya dan bahkan rusaknya tatanan kehidupan masyarakat kita.
Artinya, dengan makin maraknya kasus di atas, itu menunjukkan adanya gejala kuat bahwa nilai-nilai dan norma-norma kehidupan masyarakat kita mulai dilanggar dan ia pun menjadi sesuatu yang longgar. Para ahli mengatakannya seba-gai pergeseran nilai-nilai dan norma, yang sebetulnya merupakan perubahan perilaku masyarakat.
Ini tentu amat mencekam dan memprihatinkan, terutama mengingat bahwa perubahan sosial yang berdimensi penyimpangan sosial dalam beragam bentuknya itu, mengimbas di kalangan remaja dan anak-anak kita, yang tiada lain merupakan tunas-tunas dan harapan bangsa Indonesia.
Dalam keprihatinan itu, yang perlu dicermati dalam perubahan perilaku masyarakat ialah seberapa jauh perubahan perilaku disertai perubahan persep-si dan bahkan sikap hidup masyarakat tentang moral dan agama sebagai sendi mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat Indone-sia yang beragam. Yaitu perubahan perilaku dan persepsi yang mengarah pada netral nilai, bebas nilai, dan paham moral situa-sional yang hedonistis.
Apalagi mengingat, hal yang rawan di atas bukan mustahil akan makin meluas nantinya setelah proses globalisasi dengan arus informasi yang ditunjang teknologi yang canggih kian membanjiri kehidupan masyarakat kita dengan nilai-nilai pragmatisme, materialisme dan hedonisme yang dibawanya. Soal inilah yang perlu direnungkan semua pihak, terutama para tokoh agama dan masyarakat.
Semua pihak juga perlu berpartisipasi mengatasi penyakit sosial di atas, terutama karena ia baru bisa disembuhkan melalui proses panjang dan mendasar. Di situlah misalnya fungsi agama sebagai faktor penyuci (sublimasi) dalam kehidupan sangat diperlukan hadir, selain faktor-faktor profetik lainnya.
Sebagai faktor penyuci, tulis Peter L Berger (1991), agama perlu dijadikan acuan bagi humanisasi kehidupan manusia, yang berarti peneguhan terhadap nilai-nilai yang fitri berupa proses pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran nafsu dan perilaku hewaniah. Dalam konteks inilah pentingnya penanaman kepastian akan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan.
Dalam konteks ini, yang perlu dire-nungkan bersama, siapa tahu selama ini kalangan umat beragama terutama melalui cendekiawan atau ulamanya terlampau asyik dengan pengembangan pemikiran-pemikiran pembaharuan yang bersifat transformasi pemikiran. Agama terlampau banyak diperbin-cangkan pada tataran pemikiran spekulatif dan serba rasional, demi memenuhi tuntutan zaman modern.
Dampaknya lalu muncul pragmatisme atas nama kontekstualisasi. Agama serba dituntut untuk menjawab tantangan-tantangan struktural kehidupan modern sehingga menyisihkan tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis.
Dampak lain wacana yang acap kontroversial itu, lalu muncul berbagai pembong-karan (dekonstruksi) sedemikian rupa, yang kadangkala masih bersifat embrional tapi disuarakan dengan nada amat nyaring. Pembongkaran penuh semangat ini membawa implikasi pada pengabaian fungsi agama untuk memberi kepastian makna dan sikap hidup. Akibatnya, sebagian pemeluk agama menjadi kehilangan kepastian, sebab semua nilai dibongkar dan serba dinisbikan. Bukan cuma agama, bahkan nabi dan Tuhan pun kadang disikapi secara kurang begitu takzim, demi pembaharuan.
Karena itulah, dengan makin maraknya penyakit sosial dan moral masyarakat seperti di atas, kini, tak ada salahnya bila para tokoh dan pemikir agama, mulai merenungkan-ulang tentang semangat pembaharuan yang terlampau bersemangat dan gegap gempita itu. Di depan mata kita kini sudah bermunculan beragam panorama penyakit sosial yang membutuhkan terapi yang relatif pasti dan praktis dari agama.
Konkritnya, marilah sirami masyarakat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang jelas dan bisa dijadikan acuan bertindak. Di sinilah pentingnya tuntunan-tuntunan yang praktis tentang kehidupan beragama, disertai proses sosialisasinya yang juga praktis. Itulah solusinya.
Penulis adalah Dosen FKIP-PGSD Universitas Bung Hatta (UBH) Padang.



Dipetik dari: http://www.pelita.or.id/baca.php?id=84384

0 komentar:

Posting Komentar